Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2009

Entry Point

Ada banyak orang bilang, mencari "entry point" (pintu masuk) dunia pendampingan tak mudah. Saya pun bilang itu tak mudah! Karena saya juga mengalaminya. Tahun pertama saya melakukan pendampingan anak-anak pemulung dan kampung di Bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, Jawa Timur, Indonesia, juga banyak mengalami kesulitan. Beragam cara saya pergunakan sebagai entry point, tapi kurang begitu mengena. Bukannya tak berhasil, tapi kurang begitu tepat. Jadi kadang tak begitu dirasakan anak-anak dampingan saya, maupun saya sendiri. Akhirnya, lewat beberapa proses, saya temukan juga jalan itu. Tahukah Anda, ternyata itu sungguh sederhana sekali, namun sangat mengena. Menggunting Kuku!!! Ya, inilah sarana saya memasuki dunia anak-anak dampingan saya. Bermula dari melihat kuku tangan anak-anak yang selalu kotor, panjang menghitam, akhirnya inilah jalan itu. Sambil menggunting kuku tangan mereka, akhirnya mengalir pula cerita-cerita mereka. Cerita sedih, cerita duka, cerita gembira.

Amanda

Amanda, anak perempuan paling muda yang ikut menjadi dampinganku. Usianya belum genap dua tahun. Namun demikian dia selalu ingat saban Minggu, pasti datang mengunjungiku, bersama neneknya. Meski rambutnya belum juga mau tumbuh, serta ingusnya yang tak juga berhenti meski telah berulangkali diobati, Amanda sudah mengerti ke mana setiap saban Minggu pagi kami berkumpul. Neneknya pun datang mengantar sambil menyerahkan enam ribuan padaku, pagi itu (15/11/09). Ya, ia menyisihkan uang jajan Amanda untuk menabung di tempatku. Meski serba kekurangan, mereka masih mau memikirkan betapa pendidikan itu perlu. Perlu dipersiapkan karena mahal. Perlu diraih, meski berkeringat sekarang.... Amanda, yang belum genap dua tahun ini, telah ditinggalkan ibunya menjadi TKI ke Hong Kong. Ayahnya, entah ke mana pergi....sepertinya keluarga brokenhome ini, lengkap sudah mewarnai tepian Mergosono, yang sarat dengan penduduk pendatang. Amanda,.....akhirnya tinggal bersama neneknya. Waktu datang kemarin, Amanda

Tempat Bermain

Tanah lapang, di SDN Mergosono 4 Malang, tempat biasa kami bermain dan belajar, dua bulan ini menjadi sempit. Semua itu dikarenakan perluasan kelas untuk tambahan ruang belajar, Perpustakaan dan ruang kesehatan. Hasilnya tanah lapang menjadi begitu sempit. Menurut anak-anak pun, kegiatan olahraga berpindah ke tanah lapang di Bumiayu, yang lumayan jauh bila berjalan ke sana. Belum lagi, pas hari Minggu, saban kami bertemu, tak ada lagi ruang untuk berlari-lari atau bermain sepeda....ya, karena pas hari itu Mak Tri (istri penjaga sekolah) mencuci semua taplak sekolah. Sehingga lapangan pun penuh sebagai tempat jemuran..... Ya, kami harus makin kreatif membuat kegiatan pembelajaran dan pendampingan di Mergosono. Semoga masih ada tempat, di bilik-bilik sempit pinggiran sungai atau tempat sampah.....

Norma

Norma namanya. Saudara kembar dari Nora. Meski demikian, nasibnya sedikit tak beruntung dari kembarannya. Meski cantik parasnya, putih kulitnya, pertumbuhan Norma sedikit terlambat. Hal tersebut mungkin dipengaruhi ketaksempurnaan pada sepasang kakinya. Sejak lahir sepasang kakinya kecil, sehingga dia harus jinjit bila ada seseorang yang mengajaknya berjalan. Alhasil, hingga usianya yang keempat tahun, dia masih berjalan merangkak. Sebenarnya Norma, anak perempuan yang periang, tawanya mampu menggugah siapa saja yang berada di dekatnya. Meski terkadang, kita juga mesti basah karena leleran ilernya, yang tak jua berhenti mengalir, di sudut bibirnya. Sayangnya, dia jarang berada di luar rumah. Lebih banyak di dalam rumah, bermain sendiri. Kebetulan saat foto ini diambil, kakaknya kupaksa mengajak dia bermain ke luar rumah. Kesempatan baik itu tak kusia-siakan. Meski setengah susah berbicara dengannya, dia cukup banyak bertanya juga bermain dengan temannya yang lain. Norma....Norma....se

Permainan Termurah

Teringat saat listrik padam.... Tak tahu apa yang hendak dilakukan. Saat lilin atau lampu minyak menyala, tangan dan imajinasipun bergolak. Dan ceritapun meluncur..... dan tawapun menebar.... bersama gerak tangan yang makin banyak meloncat-loncat di dinding kamar.... meloncat-loncat di langit-langit.... hingga mulut dan tangan lelah hingga kantuk meraja.

Depresi

Seorang ibu dari salah satu anak-anak dampinganku, mencegatku siang itu, saat aku hendak pulang selesai belajar bersama anak-anak dampinganku. Wajahnya nampak segar, bahkan titik-titik air masih hinggap di kening dan pipinya. Sepertinya dia usai keramas, mandi dan mencuci di Kali Brantas. Sebagian bajunya juga basah karena air. Di tangan kanannya menenteng seember besar cucian. Sedang di tangan kirinya memegang erat ember kecil berisi peralatan mandi. Akhirnya kami berdiri di lorong sempit, turunan jalanan itu. Sedikit panas oleh sengatan matahari. Kami pun asyik ngobrol, meski awalnya basa-basiku saat bertemu dengan dia. "Bagaimana kabar Bapaknya anak-anak?" tanyaku, padanya. Bak air bah, mengalir pula ceritanya kemudian. Bersemangat, kadang intonasinya lemah, juga pancaran matanya yang bergejolak. Sudah hampir setahun ini ia ditinggalkan suaminya, menjadi TKI di negeri Jiran, Malaysia, bekerja di perkebunan kelapa sawit. Hampir setahun ini pula, wanita di depanku ini, dalam

Panas

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kondisi di Afrika saat ini. Saya hanya pernah mendengar dan membayangkan betapa di sana sangat panas. Beberapa waktu ini, di Malang juga sangat panas sekali. Kadang mendung, tapi tak juga turun hujan. Akibatnya udara terasa sesak dan panas. Kemudian saya jadi berfikir ulang, bagaimana ya kondisi di Afrika? Apakah jauh lebih panas dari yang sekarang saya alami di Malang? Saya belum tahu. Saya hanya bisa merasakan, meski seharian saya berada dalam ruangan ber-AC, namun kadang tak bisa mengalahkan panas bumi yang semakin lama semakin kacau. Kacau? Ya, mungkin ini istilah yang tepat. Global warming akhirnya menyerang kita juga bukan? ah, saya jadi merindukan.....ketika duduk-duduk di bawah sebuah pohon besar yang rindang, duduk, makan dan minum di sana. Ah, pasti menyenangkan. Thomas, Kathrin, Totok, Jonna, Lea, saya sangat merindukan saat kita membuat pesta kebun setahun kemarin di Balewiyata. Masihkah ada pohon-pohon lainnya yang menaungi kita kelak?