Pendampingan Anak di Bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang
Belajar Bersama Masyarakat Pinggiran
Awalnya bermula dari sebuah keinginan, untuk berbagi dengan anak-anak. Tak terasa sembilan tahun sudah ketika pendampingan anak-anak pemulung ini berlangsung.
Bukan ingin bermegah diri pula ketika tangan saya tiba-tiba mengetik pada tuts komputer. Semua hanya ingin berbagi pengalaman. Sesuatu yang indah tak baik bukan bila hanya tersimpan rapat di sudut gang-gang sempit yang kumuh?
Saban Minggu pagi, di halaman SD Mergosono IV Malang, kami berkumpul. Sekelompok anak-anak usia balita hingga SMP. Tak banyak, hanya kisaran 15-an anak. Tapi anehnya, semakin siang kami bercokol di sana, semakin ramai anak-anak yang datang, bisa antara 20-25-an anak. Kemungkinan besar mereka baru bangun tidur, sehingga baru sempat bergabung.
Hari ini (27/9), kami belajar menyusun puzzle, mengelem dan mewarnai. Jangan bayangkan puzzle yang ada adalah puzzle bagus seperti di toko-toko. Puzzle yang kami buat bikinan tangan sendiri, dicopy dan dipotong-potong sendiri. Anak-anakpun tak duduk di kursi. Tapi mereka santai duduk melingkar di lantai, berselonjor atau kadang dalam posisi tidur. Di tengah-tengah mereka berserakan pensil warna, lem juga kertas. Diseling suara tawa, cerita anak-anak dan kadang permainan, kegiatan ini berlangsung hingga matahari beranjak di atas kepala.
Masyarakat Miskin
Tak terasa sembilan tahun lewat, sejak Oktober 2000 kegiatan pendampingan anak-anak Bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, berlangsung. Tak kami pungkiri banyak suka duka yang mewarnai. Dari dianggap kristenisasi, musibah banjir Desember 2007, kekurangan pendanaan dan sebagainya. Namun demikian kami bersyukur. Di tengah segala musibah, Tuhan tak pernah lalai dengan anak-anak. Berkatnya senantiasa mencukupkan kami di tengah segala kekurangan.
Anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, bukanlah berasal dari keluarga mampu. Tempat tinggal mereka pun tak bisa dibilang layak, karena mereka menempati areal Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Jadi bisa dibayangkan, saat angin berhembus kencang di musim kemarau atau saat musim penghujan tiba, aroma busuk sampah bertebaran ke mana-mana.
Mayoritas masyarakat di bantaran Kali Brantas, Mergosono, ini adalah masyarakat pendatang dan tersisihkan. Terjebak diantara modernitas zaman. Mencoba melaju bersama zaman yang makin modern, tapi juga tenggelam dalam kemiskinan mereka.
Faktor lain penyebab kemiskinan mereka adalah jumlah masing-masing keluarga yang besar. Bapak, ibu dan sekitar 4-6 anak dalam sebuah keluarga. Coba bayangkan, sebuah rumah petak bambu dengan satu atau dua kamar di tempati begitu banyak orang. Alhasil, tempat tidur pun biasa tergelar di lantai.
Puji syukur, bila saya bisa menerobos dinding-dinding itu. Menerobos kasih mereka, sehingga kami bisa berproses dalam pembelajaran (sederhana) bersama. Saya percaya, ini bukan usaha saya sendiri, tapi kemurahan Tuhan menempatkan saya di sana. Yuuk, kita mulai belajar bersama.....
Belajar Bersama, Berbagi Bersama
Kami tak pernah memakai banyak peralatan untuk belajar. Selain terbatas, ada satu prinsif yang selama ini kami tanamkan: berbagi dengan yang ada. Maksudnya, semisal ada sekotak pensil warna, itulah yang dipakai bersama-sama untuk anak-anak. Tak hanya peralatan, makanan, obat-obatan, juga demikian. Bukannya saya pelit, tapi inilah yang bisa kami latih dan tanamkan pada mereka. Bahwa hidup harus bisa peduli dan berbagi dengan sesamanya. Awalnya memang tak mudah. Tapi dari mencoba dan belajar terus-menerus, akhirnya bisa juga terlaksana.
Kami tak pernah memakai barang yang mahal. Karena kami berusaha mencoba, media pembelajaran dibuat sendiri dan berasal dari lingkungan kami. Maka tak mengherankan, bila cara kami belajar juga kotor. Kotor karena harus bergelut dengan tanah, sampah. Seperti kegiatan out bond yang kami lakukan di halaman sekolah atau kebun di bantaran kali Brantas.
Belajar dari sampah. Meski kami hidup di dekat sampah, tapi sering kami tak begitu mengerti apa saja yang ada dalam tumpukan sampah? Sampah-sampah apa saja itu? Apa guna sampah? Dan bagaimana memanfaatkannya? Dengan belajar dari sampah kami kemudian sedikit demi sedikit tahu tentang sampah.
Di dekat tempat pembuangan sampah juga terdapat pasar tradisional. Namanya Pasar Krempyeng. Nah, di pasar inilah kami belajar mengenal tentang pasar, asal-mula berdirinya pasar, berapa jumlah pedagang, apa saja yang dijual disana serta apa sih perbedaannya dengan pasar modern seperti mini market atau supermall? Kalian pasti bisa membayangkan bukan, bagaimana cara kami mewawancarai para pedagang di pasar itu.
Tapi, kadang kala perlu juga mengenal dunia yang lain, di sekitar kami. Pada 29 Maret 2009 lalu, kami berkunjung ke Museum Zoologi Kabupaten Malang. Di sana selain melihat-lihat isi museum, kami juga belajar mengenal primata ular. Wih, serem...tapi ternyata asyik juga. Selama ini kami menilai, ular adalah binatang yang melata dan menakutkan. Selain baunya anyir, kulitnya yang licin membuat jijik. Tapi ternyata, jika kita tak jahat pada ular dan binatang yang lain, ternyata mereka juga mau lho bersahabat dengan kita.
Saat berkunjung ke museum ini pula kami melihat-lihat banyak koleksi binatang hidup dan mati. Melihat kandang buaya dan burung rajawali dan cendrawasih. Juga beraneka tanaman di halaman museum. Ternyata banyak sekali yang belum kami ketahui, yang dapat kami pelajari di sini.
Belajar Bersama, Berproses Bersama
Setiap tengah tahun, inilah waktu yang menyenangkan bagi kami. Karena saat itulah kami bersama-sama mengevaluasi belajar kami selama ini. Bukan seperti evaluasi belajar di sekolah pada umumnya, yang berupa ujian. Tapi evaluasi kegiatan kami berupa permainan dalam lomba kerjasama dan pembuatan buletin.
§ Permainan Kerjasama
Anak-anak dibagi dalam kelompok. Karena usia yang beragam, maka kelompokpun campur. Inilah saat menguji kekompakkan bersama. Anak yang besar belajar bersama anak-anak yang lebih kecil. Bukan kalah menang yang diharapkan. Tapi dari beragam permainan ketangkasan, kita mau melihat sejauh mana mereka saling peduli dan bertanggungjawab satu sama lain. Perlombaanpun bisa berbentuk outbond, membuat puzzle, mewarna, membuat lagu, dsb. Permainan kerjasama ini, biasanya juga kami lakukan pada saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus dan Hari Anak Nasional.
§ Membuat Buletin
Selama ini kami mengajarkan, selain bisa membaca, menulis dan menggambar, perlu juga belajar untuk mendokumentasikan sesuatu. Belajar membuat buletin adalah salah satu cara untuk mengingat dan membagikan apa yang telah dipelajari bersama. Karena yang membuat mereka sendiri, cerita yang ditampilkan juga beragam: pengalaman di sekolah, puisi, gambar, pengalaman menyedihkan, dsb.
Curhat dan Permasalahan Anak
Kami suka sekali membaca, tapi kami tak memiliki buku bacaan. Akhirnya dengan usaha nekat dan bantuan teman-teman (lewat SMS; banyak teman yang bahkan belum kami kenal sebelumnya), terbentuklah perpustakaan kecil kami. Kami percaya masih banyak teman-teman yang mampu yang mau berbagi dengan kami, memberikan sebuah buku untuk menambah perpustakaan kami. Buku-buku itu dipinjam dan dibaca adik-adik bergantian. Seminggu atau dua minggu sekali mereka mengembalikan dan meminjam buku yang baru.
Sementara itu, seiring sembilan tahun pendampingan anak-anak di Bantaran Kali Brantas, ternyata sekarang ada beberapa anak yang telah menginjak masa remaja. Saya berpikir ini perlu penanganan khusus. Akhirnya dibukalah ruang curhat saban Jumat petang. Kelompok kecil yang terdiri dari tujuh anak perempuan remaja. Setiap pertemuan yang diobrolkan juga hal-hal yang berkembang sesuai perkembangan usia mereka. Dari masalah puber, pengalaman menstruasi pertama, cita-cita, pengalaman di sekolah, pacaran, kekerasan dalam keluarga,dsb. Tentu saja metode yang dipakai tak asal-asalan. Namanya juga masih anak-anak, maka awalnya dimulai dengan metode bermain, menggambar, baru kemudian dibawa pada pokok permasalahan.
Di kelompok inilah saya merasa, inilah pendampingan yang sesungguhnya. Inilah permasalahan yang mungkin luput ditangani keluarga dan kita mencoba membantu menemani dan memecahkan masalahnya. Saya menyadari, sesungguhnya saya tak mampu memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak-anak, karena memang harus anak-anak dan keluarga mereka sendiri yang harus memecahkan permasalahan mereka. Kita hanya membantu agar anak-anak berani mengungkapkan kegelisahan batin mereka dan mengutarakan pada orang yang lebih dewasa.
Bersyukur, melalui pendampingan ini setidaknya sekarang kami semakin dekat dan lebih terbuka dengan keluarga anak-anak ini. Sampai kemudian muncul pula ide untuk mulai menabung, untuk mengatasi kesulitan membayar sekolah. Orangtua juga terlibat dalam kegiatan ini, tak hanya anak-anak dampingan. Karena memang, sebuah pendampingan di tengah masyarakat harus memberdayakan mereka. Mereka tak boleh hanya dididik sekadar membuka kedua telapak tangan mereka, sekalipun kesulitan menyertai mereka.
Saya percaya, belajar bisa di mana saja. Di jalanan, di rumah, di tanah lapang, di manapun kita bisa menjejakkan kaki kita. Belajar juga bisa dengan siapa saja. Tak pandang seberapapun usia mereka. Asal kita mau menyediakan hati, kasih dan waktu kita bersama mereka.
Terakhir, saya ingin katakan pada semua sahabat: TERIMA KASIH. Untuk semua hati, kecintaan dan sebagian berkat yang boleh dibagikan bersama kami selama ini: baik berupa peralatan sekolah, peralatan mandi, obat-obatan, dukungan dana untuk operasional kami, buku-buku bacaan, terlebih doa yang boleh menyertai perjalanan pendampingan di Bantaran Kali Brantas, Mergosono selama ini. Ini belum selesai, karena belajar bagi kami adalah proses seumur hidup kami.
Malang, 03 Oktober 2009
Merefleksikan 9 tahun perjalanan
Komentar
Posting Komentar