Seorang ibu dari salah satu anak-anak dampinganku, mencegatku siang itu, saat aku hendak pulang selesai belajar bersama anak-anak dampinganku.
Wajahnya nampak segar, bahkan titik-titik air masih hinggap di kening dan pipinya. Sepertinya dia usai keramas, mandi dan mencuci di Kali Brantas. Sebagian bajunya juga basah karena air. Di tangan kanannya menenteng seember besar cucian. Sedang di tangan kirinya memegang erat ember kecil berisi peralatan mandi.
Akhirnya kami berdiri di lorong sempit, turunan jalanan itu. Sedikit panas oleh sengatan matahari.
Kami pun asyik ngobrol, meski awalnya basa-basiku saat bertemu dengan dia.
"Bagaimana kabar Bapaknya anak-anak?" tanyaku, padanya.
Bak air bah, mengalir pula ceritanya kemudian. Bersemangat, kadang intonasinya lemah, juga pancaran matanya yang bergejolak.
Sudah hampir setahun ini ia ditinggalkan suaminya, menjadi TKI di negeri Jiran, Malaysia, bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Hampir setahun ini pula, wanita di depanku ini, dalam kondisi penuh kebimbangan. Dia mengaku beberapa bulan lalu tiba-tiba sakit, tak bisa bangun dari peraduannya. Empat orang anaknya sedikit terlantar. Anak pertamanya bahkan drop out dari SMK, karena mengkhawatirkan keadaan ibunya. Sedang anaknya kedua, tak jadi masuk SMP gara-gara kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan kakinya sedikit bengkok. Anaknya yang keempat tak jadi masuk SD karena tak ada biaya.
Serentetan beban ini, ditambah belum pernah berpisah dengan suaminya, mengakibatkan dia depresi berat.
Dia memegang tanganku erat, saat bercerita. Masih saja menawarkan padaku untuk mampir ke rumahnya. Tapi memang, siang ini benar-benar tak bisa mampir, jadi aku hanya bisa berjanji padanya.
Siang makin panas, dan lorong sempit tempat kami berdiri dan mengobrol, juga banyak lalu lalang orang lewat. Kami pun berpisah.....sorot matanya menghunjam padaku. Dalam hati aku berjanji, esok suatu saat, pasti mampir ke rumah mereka.
Wajahnya nampak segar, bahkan titik-titik air masih hinggap di kening dan pipinya. Sepertinya dia usai keramas, mandi dan mencuci di Kali Brantas. Sebagian bajunya juga basah karena air. Di tangan kanannya menenteng seember besar cucian. Sedang di tangan kirinya memegang erat ember kecil berisi peralatan mandi.
Akhirnya kami berdiri di lorong sempit, turunan jalanan itu. Sedikit panas oleh sengatan matahari.
Kami pun asyik ngobrol, meski awalnya basa-basiku saat bertemu dengan dia.
"Bagaimana kabar Bapaknya anak-anak?" tanyaku, padanya.
Bak air bah, mengalir pula ceritanya kemudian. Bersemangat, kadang intonasinya lemah, juga pancaran matanya yang bergejolak.
Sudah hampir setahun ini ia ditinggalkan suaminya, menjadi TKI di negeri Jiran, Malaysia, bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Hampir setahun ini pula, wanita di depanku ini, dalam kondisi penuh kebimbangan. Dia mengaku beberapa bulan lalu tiba-tiba sakit, tak bisa bangun dari peraduannya. Empat orang anaknya sedikit terlantar. Anak pertamanya bahkan drop out dari SMK, karena mengkhawatirkan keadaan ibunya. Sedang anaknya kedua, tak jadi masuk SMP gara-gara kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan kakinya sedikit bengkok. Anaknya yang keempat tak jadi masuk SD karena tak ada biaya.
Serentetan beban ini, ditambah belum pernah berpisah dengan suaminya, mengakibatkan dia depresi berat.
Dia memegang tanganku erat, saat bercerita. Masih saja menawarkan padaku untuk mampir ke rumahnya. Tapi memang, siang ini benar-benar tak bisa mampir, jadi aku hanya bisa berjanji padanya.
Siang makin panas, dan lorong sempit tempat kami berdiri dan mengobrol, juga banyak lalu lalang orang lewat. Kami pun berpisah.....sorot matanya menghunjam padaku. Dalam hati aku berjanji, esok suatu saat, pasti mampir ke rumah mereka.
Komentar
Posting Komentar