Minggu pagi, 21 Oktober 2012
Setelah beberapa tak bersua dengan anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, karena ada beberapa kesibukan, pagi ini kami bisa bertemu kembali.
Sekitar 20 orang anak datang di halaman sekolah SDN Mergosono 4 Malang, seperti biasa,...ada banyak anak yang baru bangun tidur dan belum mandi, he he he...padahal hari sudah siang (sekitar jam 08.30 an). Tak mengapalah...itulah memang anak-anak.
Sambil mewarna, hari ini kami lebih banyak waktu untuk bercerita.
Bercerita tentang Angga dan keluarganya yang pindah rumah ke daerah Gadang.
"Rumahnya di Gadang gang 2, dekat rel kereta api, Mbak!" cerita Teguh padaku.
Beberapa hari sebelumnya, aku sempat bertemu dengan Angga dan adiknya di dekat rumahku. Kami sempat ngobrol sebentar dengannya, jadi aku tidak terlalu kaget saat anak-anak bercerita hal ini.
"Rumahku juga pindah, Mbak..." cerita Yanti, meminta perhatian dariku.
"Ohya, pindah ke mana?" tanyaku pelan.
"Deket rumahnya Nindy," jawab Yanti lagi, sambil mewarnai gambarnya. Sepertinya ada banyak kemajuan dari Yanti. Goresan warnanya sudah sangat bagus, tidak berupa coretan seperti beberapa bulan yang lalu.
"Wah, gambarannya Yanti bagus ya...," ucap Mak Tri, yang tiba-tiba datang di tengah kumpulan anak-anak ini.
"Yanti sudah sekolah, Mak," ucapku.
"Iya. Aku sekolah di Comboran, Mak," jawab Yanti sambil melanjutkan mewarnai gambarnya.
"Kalau sekolah diantar siapa, Yan?" tanyaku lagi.
"Bapak," jawabnya singkat.
Tak berapa lama, anak-anak makin ramai datang di halaman sekolah ini. Juga ibu Nora datang bersama Putro, anak bungsunya.
"Lho, Putro sudah sembuh?" tanyaku dengan terkejut. Menjelang hari raya Idul Fitri beberapa bulan lalu Putro terbaring lemah di kamarnya karena sakit. Aku sudah memaksa ibunya untuk membawa Putro ke dokter khusus anak. Dan ibu Putro bercerita bahwa telah membawanya ke RS umum kota Malang.
"Sudah,..." jawab Ibu Nora dengan senyum tertahannya. Putro menaiki tangga dituntun ibu dan Nora, kakaknya. Aku iba memperhatikan Putro, sepertinya tubuhnya makin kurus (atau bisa dibilang kulit membalut tulang?) hanya pipinya yang gemuk, khas anak-anak yang kekurangan gizi. Jalannya tertatih-tatih, sepertinya kakinya tak kuat menahan berat tubuhnya. Aku berikan selembar kertas mewarna padanya. Putro duduk di sebelah kakaknya. Tangannya yang kurus bergerak pelan mengambil krayon dan mulai mewarnai.
"Putro sakit apa Nora?" tanyaku pada Nora, ingin mencari tahu lebih lanjut.
"Kata Emak sudah sembuh, tinggal ganti kulit saja," kata Nora dengan cueknya.
Kuperhatikan sekujur tubuh Putro, dari atas kepala hingga kakinya memang tengah mengalami pergantian kulit. Tubuhnya yang kurus kering, rambutnya jadi makin pirang karena rontok,....hanya pipinya yang tembem. Aku yakin, ini pasti ciri-ciri anak pengidap gizi buruk.
Tiba-tiba Putro meminta kakaknya untuk mengantarkannya pulang. Mendadak dia menangis...rupanya kakinya tak kuat berdiri sendiri, untuk menahan tubuhnya. Segera aku mengangkat badannya, tanpa sengaja tanganku meraba badan dan perutnya.....
"Duh, Gusti...di mana dagingmu, Nak," ucapku dalam hati.
Badan Putro teraba hanya tinggal tulang yang diselimuti kulit saja. Kakinya juga tidak bisa tegak menjejak ke tanah...tanpa bantuan orang lain.
Segera Nora menuntun adiknya untuk pulang.
Hari ini terasa pilu....ada banyak pikiran di kepala, apa yang bisa aku perbuat untuk Putro?
Setelah beberapa tak bersua dengan anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, karena ada beberapa kesibukan, pagi ini kami bisa bertemu kembali.
Sekitar 20 orang anak datang di halaman sekolah SDN Mergosono 4 Malang, seperti biasa,...ada banyak anak yang baru bangun tidur dan belum mandi, he he he...padahal hari sudah siang (sekitar jam 08.30 an). Tak mengapalah...itulah memang anak-anak.
Sambil mewarna, hari ini kami lebih banyak waktu untuk bercerita.
Bercerita tentang Angga dan keluarganya yang pindah rumah ke daerah Gadang.
"Rumahnya di Gadang gang 2, dekat rel kereta api, Mbak!" cerita Teguh padaku.
Beberapa hari sebelumnya, aku sempat bertemu dengan Angga dan adiknya di dekat rumahku. Kami sempat ngobrol sebentar dengannya, jadi aku tidak terlalu kaget saat anak-anak bercerita hal ini.
"Rumahku juga pindah, Mbak..." cerita Yanti, meminta perhatian dariku.
"Ohya, pindah ke mana?" tanyaku pelan.
"Deket rumahnya Nindy," jawab Yanti lagi, sambil mewarnai gambarnya. Sepertinya ada banyak kemajuan dari Yanti. Goresan warnanya sudah sangat bagus, tidak berupa coretan seperti beberapa bulan yang lalu.
"Wah, gambarannya Yanti bagus ya...," ucap Mak Tri, yang tiba-tiba datang di tengah kumpulan anak-anak ini.
"Yanti sudah sekolah, Mak," ucapku.
"Iya. Aku sekolah di Comboran, Mak," jawab Yanti sambil melanjutkan mewarnai gambarnya.
"Kalau sekolah diantar siapa, Yan?" tanyaku lagi.
"Bapak," jawabnya singkat.
Tak berapa lama, anak-anak makin ramai datang di halaman sekolah ini. Juga ibu Nora datang bersama Putro, anak bungsunya.
"Lho, Putro sudah sembuh?" tanyaku dengan terkejut. Menjelang hari raya Idul Fitri beberapa bulan lalu Putro terbaring lemah di kamarnya karena sakit. Aku sudah memaksa ibunya untuk membawa Putro ke dokter khusus anak. Dan ibu Putro bercerita bahwa telah membawanya ke RS umum kota Malang.
"Sudah,..." jawab Ibu Nora dengan senyum tertahannya. Putro menaiki tangga dituntun ibu dan Nora, kakaknya. Aku iba memperhatikan Putro, sepertinya tubuhnya makin kurus (atau bisa dibilang kulit membalut tulang?) hanya pipinya yang gemuk, khas anak-anak yang kekurangan gizi. Jalannya tertatih-tatih, sepertinya kakinya tak kuat menahan berat tubuhnya. Aku berikan selembar kertas mewarna padanya. Putro duduk di sebelah kakaknya. Tangannya yang kurus bergerak pelan mengambil krayon dan mulai mewarnai.
"Putro sakit apa Nora?" tanyaku pada Nora, ingin mencari tahu lebih lanjut.
"Kata Emak sudah sembuh, tinggal ganti kulit saja," kata Nora dengan cueknya.
Kuperhatikan sekujur tubuh Putro, dari atas kepala hingga kakinya memang tengah mengalami pergantian kulit. Tubuhnya yang kurus kering, rambutnya jadi makin pirang karena rontok,....hanya pipinya yang tembem. Aku yakin, ini pasti ciri-ciri anak pengidap gizi buruk.
Tiba-tiba Putro meminta kakaknya untuk mengantarkannya pulang. Mendadak dia menangis...rupanya kakinya tak kuat berdiri sendiri, untuk menahan tubuhnya. Segera aku mengangkat badannya, tanpa sengaja tanganku meraba badan dan perutnya.....
"Duh, Gusti...di mana dagingmu, Nak," ucapku dalam hati.
Badan Putro teraba hanya tinggal tulang yang diselimuti kulit saja. Kakinya juga tidak bisa tegak menjejak ke tanah...tanpa bantuan orang lain.
Segera Nora menuntun adiknya untuk pulang.
Hari ini terasa pilu....ada banyak pikiran di kepala, apa yang bisa aku perbuat untuk Putro?
siiiip....Yik... Eh, blogmu aku link ke blog sanggar ya...
BalasHapusBoleh, monggo. Berkah Dalem
BalasHapus