Minggu, siang, 15 Maret 2015
Siang yang terik, saat Mas Endry, salah seorang teman yang pernah berkunjung ke tempat pendampingan anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, menyempatkan ke rumah saya dan memberikan buku OPEN TO GO. Sebuah buku hasil refleksi Mas Endry (Pelukis dan guru seni di Malang) bersama timnya: Christina Brudereck (penulis, penyair dan penginjil di Jerman), Kisuba Kateghe (pendeta, penginjil dan guru, tinggal di DR Congo) dan Claudia Wahrisch-Oblau (Sekretaris Eksekutif Departemen Penginjilan UEM, tinggal di Jerman). Dalam buku tersebut, ada juga sebuah catatan tentang kunjungan mereka ke tempat anak-anak di Mergosono (hal 64-68), sekitar 5 tahun lalu.
Berikut kisah mereka.........
Siang yang terik, saat Mas Endry, salah seorang teman yang pernah berkunjung ke tempat pendampingan anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, menyempatkan ke rumah saya dan memberikan buku OPEN TO GO. Sebuah buku hasil refleksi Mas Endry (Pelukis dan guru seni di Malang) bersama timnya: Christina Brudereck (penulis, penyair dan penginjil di Jerman), Kisuba Kateghe (pendeta, penginjil dan guru, tinggal di DR Congo) dan Claudia Wahrisch-Oblau (Sekretaris Eksekutif Departemen Penginjilan UEM, tinggal di Jerman). Dalam buku tersebut, ada juga sebuah catatan tentang kunjungan mereka ke tempat anak-anak di Mergosono (hal 64-68), sekitar 5 tahun lalu.
Berikut kisah mereka.........
KISAH AYIEK...
Sedikit
informasi dari SMS Ayiek menyebutkan bahwa aktivitas “pendampingan anak” yang
dibinanya terletak di salah satu sekolah dasar yang ada di Mergosono. Apa yang
saya bayangkan tentang kawasan tersebut benar. Sesekali saya buka SMS Ayiek
untuk memastikan alamatnya. Kali ini saya datang sendiri, untuk
menginformasikan kedatangan saya bersama tim beberapa minggu berikutnya.
Saya
harus menuruni jalan curam, jalan berbelok-belok, dan beberapa kali menyusuri
gang-gang kecil. Untunglah saya membawa sepeda motor sehingga tidak perlu
pusing mesti parkir di mana. Akhirnya saya menemukan plang SDN dan harus
kembali menuruni jalan serta melewati beberapa halaman depan rumah orang.
Tampak ibu-ibu mengobrol di teras rumah mereka sambil bercanda. Saya
mendapatkan beberapa pertanyaan yang sama dari hampir tiap orang. “Mau ke mana?
Cari siapa?” Begitu saya sebut “Ayiek”, mereka langsung menunjuk ke arah
sekolah.
Akhirnya
saya datang bersama tim sesuai dengan jadwal kesepakatan untuk melihat secara
langsung keberadaan “Pendampingan Anak” atau tepatnya tempat “belajar dan
bemain” bagi anak-anak di sekitar bantaran Sungai Brantas, Begitu memasuki
gerbang sekolah dasar yang tidak terlalu besar, terdengar riuh suara anak-anak.
Saya ikuti arah suara tersebut. Apa yang sedang anak-anak lakukan masih belum
jelas karena terhalang sekelompok ibu.
Seorang
perempuan berkaca mata minus berkaos putih dan bercelana hijau tiga perempat
datang menyambut kami. Rambutnya diikat begitu sederhana. Ayiek, yang bernama
lengkap Yanuari Ningsih Aji, itulah sosok yang ingin kami temui. Penampilannya
begitu sederhana. Namun, raut wajah serta senyumnya menyiratkan suatu ekspreasi
“ketulusan”.
“Kak
Ayiek” begitu anak-anak dengan akrab memanggilnya. Ia pernah bekerja sebagai
jurnalis untuk buletin GKJW (Greja Kristen Jawi Wetan), namun sudah tidak
berlanjut dengan alasan tertentu. Sebenarnya inilah titik awal Ayiek
berinteraksi dengan masyarakat di kawasan tersebut. Kala itu ia tengah bertugas
untuk meliput keberadaan penduduk di sekitar bantaran Sungai Brantas dan
mengorek informasi. Saat itulah hatinya begitu tergugah melihat anak-anak yang
dia temui dalam kondisi yang cukup mempri-hatinkan, baik dari segi fisik,
mental, sosial, maupun psikologis.
Hatinya
terenggut sehingga muncul pertanyaan dalam dirinya “Kalau bukan saya, lantas
siapa?” Pertanyaan itu hadir sekitar sebelas tahun yang lalu dan telah terisi
berbagai jawaban sejak dia mengambil langkah nyata untuk berkecimpung dan
membuka sarana pendampingan anak-anak. Pertemuan yang diadakan tiap hari Minggu
dengan durasi sekitar 3-4 jam itu terlihat begitu dirindukan anak-anak. Sekitar
hampir 60 anak, mulai dari balita hingga remaja, hadir. Ayiek pun mesti membagi
perhatiannya agar semua mendapatkan porsi yang sama serta segala kegiatan harus
selalu melibatkan semua.
“Jangan
biarkan anak-anak yang begitu antusias untuk datang kita padamkan semangatnya.”
Pernyataan ini tentunya mengingatkan kita akan perkataan Yesus dalam salah satu
cerita Alkitab, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan
menghalang-halangi mereka.” Inilah salah satu motivasi yang menjadikan Kak Ayiek
begitu bersemangat melakukan kegiatan pendampingan anak, berusaha mencari
ide-ide baru yang kreatif sehingga waktu yang ada benar-benar bisa
termanfaatkan secara maksimal.
Hari
ini anak-anak melakukan penyempurnaan gambar, mewarnai, menggunting serta
menyatukannya menjadi gambar utuh yang indah. Di lantai berceceran kartu kecil
dengan beragam gambar, huruf, dan angka. Tampaknya hanya dibuat secara manual
atau berupa fotokopi yang dilaminating secara sederhana. Beberapa anak balita
yang mungkin sedang belajar mengeja sangat asyik mengumpulkan beberapa huruf
untuk disusun menjadi satu kata sembari menebar senyum keceriaannya. Keakraban
dengan “Sang Kakak” terlihat begitu mendalam.
Sambil
melakukan aktivitas mewarnai siang itu, anak-anak kerap kali memanggilnya hanya
sekadar bertanya tentang hal-hal sepele, menunjukkan hasil kerja mereka,
memegang tangannya bahkan seorang anak kecil tak sungkan minta digendong. Tiap
anak seolah-olah ingin bermanja dengan Kak Ayiek. Sosok yang benar-benar
memberi pengayoman tersendiri bagi anak-anak. Sosok untuk belajar, bermain, berkomunikasi,
bermanja, bahkan tempat mengadu segala curahan. Sosok yang sangat dirindukan
karena tidak pernah hadir di kelu-arga mereka. Sosok yang memberikan kasih
sayang yang tulus atau bahkan menjadi sosok ibu bagi anak-anak yang
merindukannya. Meskipun hanya dilakukan di teras kelas yang tidak begitu luas,
bahkan anak-anak hanya duduk di atas lantai tanpa alas, semua tetap antusias
mengerjakan aktivitas dengan ceria.
Ternyata
bukan hanya itu yang dilakukan di tempat pendampingan anak Mergosono. Beragam
kreativitas dan masih banyak kreativitas lainnya yang didesain Kak Ayiek,
misalnya mencari dan mengamati suatu benda, belajar tentang laut, berhitung,
berdiskusi, menjelajah mencari harta karun. Kami pun diundang untuk melihat
tempat berpetualang mencari “harta karun”
yang tak lain adalah bantaran Sungai Brantas.
Letaknya
tepat di belakang sekolah, namun kami harus mengambil jalur putar menyusuri
jalan lain karena belakang sekolah sudah
dibangun tembok untuk menghalangi luapan Sungai Brantas di musim hujan. Di
sanalah anak-anak melakukan petualangan sambil belajar tentang alam. Di sisi
kiri-kanan terlihat “rumah-rumah” kecil yang tidak permanen, hanya lembaran
kardus bekas sebagai temboknya. Sampiran jemuran juga menghias di sepanjang
jalan kecil yang kami lalui, sementara di atas tampak gunungan sampah yang
menjulang menebarkan aroma kurang sedap. Di sanalah biasanya orangtua bahkan
anak-anak mengais rezeki alias memunguti sampah plastik atau kardus untuk
clijual.
Beberapa
kali langkah kami dihentikan oleh remaja yang pernah dibina Kak Ayiek. Mereka
tidak lagi rutin hadir lantaran harus putus sekolah dan bekerja. Salah satu
dari mereka bahkan sudah menikah dan sedang hamil dalam usia yang terbilang
terlalu dini. Sampailah juga kami di aliran Sungai Brantas yang berwarna cokelat
keruh dengan sampah-sampah yang hanyut terbawa alirarmya. Tampak beberapa orang
di sana, ada yang mengumpulkan pasir, memancing bahkan mandi. Sungai yang
ternyata begitu besar dengan arus yang cukup deras itu berada tepat di belakang
sekolah dengan jarak yang sangat dekat. Aliran sungai itu bahkan sempat meluap
dan menggenangi sekolah sekitar satu meter lebih. Orang-orang sekitar
memanfaatkan keberadaan sungai tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas
harian mereka. Oleh karena itulah Ayiek sering juga memberikan pemahaman
tentang pentingnya menjaga kebersihan anggota badan. Terkadang ia mengundang
salah seorang petugas dinas kesehatan sebagai penyampai pesan tentang
kebersihan. Penyuluhan tentang HIV pun telah Ayiek upayakan karena melihat
rawan terjadinya seks bebas di kalangan usia remaja atau seks di luar nikah
karena pengaruh lingkungan.
Hal
praktis tentang kebersihan yang diterapkan Ayiek kepada anak-anak asuhnya
misalnya pemeriksaan kuku sebelum mulai aktivitas. Seandainya didapatkan kuku
yang panjang dan kotor, tak segan Ayiek membantu membersihkan serta
menggunting, “Penyakit bisa menular lewat tangan kalau kita tidak hati-hati,”
demikian Ayiek selalu mengingatkan kepada mereka. Acara gosok gigi bersama
pernah dilakukan sewaktu ada donatur yang memberikan beberapa paket sikat gigi
beserta pasta gigi kepada anak-anak sebagai praktik menjaga kebersihan mulut.
Kawasan bantaran Sungai Brantas sebagian besar dihuni oleh keluarga pendatang
dari luar kota. Mereka datang ke Malang untuk mengadu nasib baik sebagai buruh
pabrik, tukang becak, atau pemulung, Anak-anak di kawasan itu umumnya tumbuh
dan dibesarkan dalam keluarga miskin dengan banyak mak. Jarak kelahiran
antaranak terkadang begitu dekat, sekitar satu tahunan. Kakak-beradik yang kami
jumpai tampak seperti kembar padahal mereka dilahirkan dalam tahun yang
berbeda. Sang kakak terlihat tumbuh sangat lambat, tentunya karena asupan
makanan yang mereka konsumsi tidaklah terlalu memenuhi kadar gizi yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan seorang anak, Hal ini bukan hanya karena masalah
ekonomi, melainkan juga ketidak-tahuan para orangtua atau minimnya pengetahuan
tentang masalah tersebut yang tentu berimbas pada kecerdasan mental bagi
generasi berikutnya.
Bayangkan,
seorang anak yang menurut saya masih sangat kecil sudah memiliki setidaknya
tiga atau bahkan empat adik yang mesti dijaganya sementara orangtua mereka bekerja
hingga sore. Lantas, seberapa besar perhatian yang bisa didapatkan seorang anak
sulung dari orangtuanya? Anak-anak dari keluarga berkecukupan tak perlu
memikirkan apa yang mereka makan atau merisaukan kebutuhan sekolah. Namun,
sebagian besar anak-anak dampingan Ayiek tidak dapat bersantai untuk sekadar
bermain pada waktu luang. Mereka mesti mengais sampah mencari plastik, kardus
bekas atau apa saja yang dapat dijual sepulang sekolah atau bahkan sejak pagi,
Bukan untuk tambahan uang jajan, sebaliknya untuk ikut menopang kebutuhan
keluarga.
Saat
ini Ayiek bekerja di salah satu penerbitan Kristen di kota Malang, dengan gaji
yang tak besar. Ia banyak menggunakan sebagian uang pribadinya untuk membeli
keperluan penunjang pelayanannya: kertas, buku gambar, krayon, bahan yang
difotokopi serta kebutuhan yang lain. Adakalanya donatur mem-bantu, tetapi
sifatnya hanya sekali atau sementara waktu. Prinsipnya, kegiatan pendampingan
anak ini harus tetap dilakukan apa pun yang terjadi.
Ia
bahkan tak pernah peduli lagi apakah ada yang peduli atau mendukung
pelayanarmya, Ia melakukan dalam ketulusannya. “Kalau bukan saya, lantas siapa?”
Inilah prinsip yang ia pegang teguh. Hal ini telah membuktikan bahwa ia
benar-benar diterima di sana, bukan hanya di kalangan anak asuhnya. Orang-orang
di sekitar kawasan sungai itu benar-benar memahami apa yang sedang dan telah
dilakukan Ayiek bagi anak-anak mereka di sana. Inilah sosok “lilin kecil” yang
sebenarnya. Di sana, di tempat di mana atribut kekristenan tidak ia bawa, ia
mengabdikan waktu dan tenaganya juga hatinya untuk anak-anak yang membutuhkan
uluran tangan dan sentuhan hatinya. Adakalanya kita membawa terang yang terlalu
menyilaukan sehingga orang tidak lagi menikmati cahaya itu, tetapi justru menjauh
dan menutup mata mereka, Bukankah ini yang kerap terjadi dengan pelayanan kita?
Kita terlalu bersemangat menjangkau jiwa, tetapi lupa terhadap hakikat yang
sebenarnya. Terlalu muluk, namun tidak membumi sehingga kerap kali pelayanan
kita tampak tidak memberikan dampak yang nyata atau bahkan menjadi sia-sia.
Orangtua, para pengurus lingkungan baik RT, RW hingga lurah sekalipun sudah
mengetahui tentang siapa dan apa yang Ayiek lakukan di sana. Memang pada
awalnya banyak praduga dan pertanyaan tentang keberadaannya di lingkungan yang
seluruh penduduknya Muslim. Bagaimana tidak? Tak ada yang mendukungnya saat ia
menelurkan idenya untuk mengadakan tempat “Pendampingan Anak”, bahkan gereja di
mana ia bernaung sekalipun tidak peduli. Seiring berjalannya waktu segala
prasangka itu pun terkikis sehingga aktivitasnya dapat berlangsung selama lebih
dari sepuluh tahun di tempat dan lingkungan yang sama. Apa yang ia lakukan
secara tulus dari hatinya sudah lebih dari cukup baginya. Melihat senyum
adik-adik asuhnya merupakan “harga yang tidak ternilai”. Bukankah memang itulah
hakikat kasih yang sebenarnya. Iman tanpa perbuatan adalah mati. Beberapa anak
yang telah menginjak masa remaja pun merasa memiliki sosok kakak untuk berbagi
kisah hidup mereka.
Tak
jarang Ayiek masih harus meluangkan waktu dan perhatiannya untuk remaja-remaja
yang datang kepadanya secara pribadi. Menceritakan segala kegalauan hatinya,
tentang ketertarikan terhadap lawan jenis, ketidak mampuan orangtua untuk membiayai
kelanjutan sekolah, perselisihan antar teman, rasa sesal lantaran harus berhenti
sekolah untuk segera bekerja di pabrik, perihal masalah menstruasi pertama yang
membuat mereka begitu ketakutan, bahkan curahan tentang suatu keputusan besar
untuk menikah dini. Di sinilah peran “Sang Kakak” benar-benar nyata dibutuhkan.
Hati seorang kakak yang mendengar keluh kesah adik-adiknya, hati seluas
samudera guna menampung luapan permasalahan adik asuhnya.
Beberapa
hari yang lalu saya sempatkan untuk membuka ulang blog “Ayik-Ceritaku.blogspot.com”. Saya melihat up
date apa saja dari kisah anak-anak di sana. Masih berkisar kegiatan kreativitas
yang cukup menarik terungkap di halaman blog serta dileng-kapi foto-foto lucu anak-anak
saat beraktivitas. Gerakan jari saya pada mouse terhenti ketika saya membaca
kisah tentang “Nadia”. Gadis remaja kelas 12 di salah satu SMA di Malang ini
menulis surat kepada Kak Ayiek perihal masalah biaya sekolah dan nyaris
dikeluarkan karena tunggakan SPP hingga beberapa bulan. Sekolah sudah tidak
bisa lagi memberikan bantuan atau toleransi kepada Nadia.
Kisah
Nadia berawal dari perceraian orangtuanya serta kesulitan ekonomi. Hati Kak
Ayiek begitu tersentuh melihat semangat dan kemauan Nadia yang cerdas bahkan
bertekad untuk menyelesaikan SMA. Kebutuhan biaya sekolah Nadia sebenarnya
bukan angka yang terlalu besar. Kurang dari 3,5 juta rupiah dibutuhkan hingga
lulus sekolah yang sebenarnya tinggal beberapa bulan saja. Melalui aksi lewat
jejaring sosialnya akhirnya beberapa donatur tersentuh untuk turut ambil
bagian. Satu anak yang nyaris putus sekolah telah terselamatkan melalui aksi
ini. Ayiek mengambil peran dalam mewujudkan harapan seorang anak untuk dapat
kembali berjuang bahkan menantang masa depan guna mewujudkan cita-citanya.
Betapa
masih dibutuhkan Ayiek-Ayiek lain yang mendampingi anak-anak untuk bertumbuh
dan berkembang dalam usianya secara wajar. Wajar dalam dunia anak yang penuh
keceriaan, kepolosan, dan rasa keingintahuan yang terarah. Setitik cahaya lilin
sangatlah berarti untuk menerangi sekitarnya.Ya, sebuah lilin kecil yang mampu
menerangi sesuai dengan kemampuan cahayanya dan tak perlu yang terlalu muluk sehingga
sulit mencapainya. Saya tak berharap banyak akan tulisan ini, tetapi setidaknya
Ayiek bisa memberikan inspirasi dalam menyuarakan “kasih”. Menginspirasi kita
untuk keluar dan membuat suatu perbedan di lingkungan kita, di kota kita,
negara kita, bahkan dunia kita. Memberikan cahaya bagi anak-anak terutama bagi
masa depan mereka. (ES)
PENDAPAT DARI SALAH SEORANG ANGGOTA TIM
“Saya biasanya
berkutat dengan proyek dan struktur, bukan apa yang dilakukan seseorang,
seakan-akan hal itu membuat saya tidak berbuat apa-apa. Kini, saya tertantang
oleh Ayik yang mau melakukan sesuatu.”
Jujur, saya merasa senang menerima buku tersebut. Selama ini saya rindu membagikan pengalaman yang saya miliki pada banyak orang, namun saya sering merasa malu karena saya berpikir apa yang saya lakukan belum terlalu banyak berarti.
Meski demikian, saya gembira bagi setiap orang yang merasa terberkati dengan hadirnya buku ini, atau saat meluangkan waktu membaca blog saya.
Semoga semakin ada banyak hati yang mengasihi anak-anak dan sesamanya. Berkah dalem.
amiiin :)
BalasHapus