Pagi itu (25/10) saya bergegas berjalan kaki menuju tempat anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang. Melewati jalanan setapak, dan kemudian melewati perbukitan sampah di bekas TPA Mergosono.
Area perbukitan sampah di bekas TPA Mergosono (bagian atas)
Jalanan curam di perbukitan sampah
Jalanan curam di perbukitan sampah, yang mulai diperbaiki warga.
Cuaca sangat panas, meski jam baru menunjuk di angka 07.30. Aroma khas sampah bercampur benda-benda terbakar, juga bau kambing di daerah itu, mulai memenuhi rongga dada saya, saat memasuki daerah perbukitan sampah tersebut. Aroma ini jadi makin akrab, karena hampir saban minggu saya melewati jalanan ini.
Tiba di jalanan curam, di lereng bukit sampah, di dekat pembakaran kulit (entah kulit sapi atau kulit-kulit lain yang terbakar) saya menemui Mbah Putri dan Mbah Kung, berjalan pelan di depan saya sambil membawa barang bawaan mereka. Baju mereka nampak rapi dan bagus, meski tak terbilang baru.
"Lho, dari mana, Mbah?" sapa saya, sambil kemudian menawarkan membawakan barang-barang mereka. Sedikit terkejut namun dengan tersenyum mereka menyerahkan barang bawaannya. Nampak lelah di usia lanjut. Tambah lagi jalanan yang curam membuat mereka semakin berkosentrasi melangkah dengan tertatih-tatih.
"Dari pasar, Ndhuk," jawab Mbah Putri. Kardus di tangannya berisi barang belanjaan saya ambil, nafasnya terdengar ngos-ngosan. "Hati-hati Kung," ucap Mbah Putri pada Mbah Kung, yang berjalan di belakang kami. Saya berjalan di depan sambil membawa barang belanjaan mereka. Jalanan di lereng bukit sampah ini memang licin, tambah lagi kala musim hujan. Saya saja sering terpeleset, gimana mereka ya? Ah, membayangkannya jadi tambah ngeri.
Setelah sampai di bawah, saya tuntun Mbah Putri dan kami beriringan berjalan menuju rumahnya di bawah perbukitan sampah.
"Lho, memang mau ke mana Ndhuk?" tanya Mbah Putri.
"Ke bawah Mbah, ke lapangan sekolah," jawab saya.
"Oh, iya,...ini hari Minggu ya? Ohhh,...ini Bu Guru yang ngajari anak-anak itu ya tiap hari Minggu," sumringah suara Mbah Putri sambil tersenyum ke arah saya. Ah, saya jadi malu mendapat sebutan itu. Selama ini yang menyebut saya "Bu Guru" adalah orang-orang di kampung tersebut, meski saya tak mengharap mendapat sebutan tersebut.
"Kok, belanja sendiri sih, Mbah? Anak-anaknya ke mana?" tanya saya, saat kami akhirnya tiba di depan pintu rumah Mbah Putri yang terbilang sederhana tersebut. Rumah kecil, di mana bagian ruang tamu dipakai sebagai warung kecil mereka.
"Anak-anak saya ada enam, semuanya sudah menikah dan ada di Jakarta. Saya sama Mbah Kung saja di rumah...ya, kalau gak jualan jadi gak punya kesibukan. Gak enak rasanya kalau diam saja. Gak ada yang mbantu di rumah, jadi ya pergi belanja sendiri," cerita Mbah Putri sambil membuka pintu rumahnya.
"Baik, Mbah, saya ke sekolahan dulu, sudah ditungguin anak-anak," ucap saya sambil menyerahkan belanjaannya. Ada Gesang dan Momo yang ternyata telah mengikuti di samping saya, saat kami tadi menuruni jalan tanjakan masuk perkampungan sempit ini.
"Terima kasih, ya, Ndhuk," ucap Mbah Putri. Terlihat Mbah Kung masih berjalan pelan menuruni tangga masuk perkampungan ini. Dia nampak tersenyum pada saya sambil melambaikan tangan.
"Mbak, gimana...pasirnya di bawah tah?" ucap Gesang mengagetkan saya.
"Ok. Ajak teman yang lainnya juga ya," sahut saya bergegas berjalan menuju halaman sekolah SDN Mergosono 4, tempat kami biasa belajar dan bermain bersama selama ini.
Wah, tak terasa Oktober 2015 ini adalah tahun ke-15 saya berproses mendampingi anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono. Sudah hampir empat generasi berlalu. Mereka yang dulu kecil sekarang bahkan sudah membawa anak-anak kecil mereka menemui saya....ah, jadi melankolis mengingatnya.
Tak ada salahnya bukan, jika kali ini saya mengajak mengingat perjalanan 15 tahun kebersamaan ini dalam foto.
Terima kasih Tuhan untuk 15 tahun yang boleh bergulir, dan ini tidaklah mudah. Semakin hari ada banyak kesibukan yang seringkali jadi alasan. Entah itu rasa capek, jenuh, sakit, juga alasan-alasan yang lain. Tapi selalu saja ada alasan untuk selalu kembali pada anak-anak ini.
Terima kasih Tuhan untuk 15 tahun yang boleh bergulir, juga kasih sayang dari para sahabat dalam doa, dukungan dana, dukungan moral, agar kegiatan pendampingan ini bisa tetap berjalan. Teristimewa kasih sayang dari anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, yang selalu mendatangkan kerinduan untuk tetap melayani di sana.
Area perbukitan sampah di bekas TPA Mergosono (bagian atas)
Jalanan curam di perbukitan sampah
Jalanan curam di perbukitan sampah, yang mulai diperbaiki warga.
Panorama dari perbukitan sampah di bekas TPA Mergosono.
Cuaca sangat panas, meski jam baru menunjuk di angka 07.30. Aroma khas sampah bercampur benda-benda terbakar, juga bau kambing di daerah itu, mulai memenuhi rongga dada saya, saat memasuki daerah perbukitan sampah tersebut. Aroma ini jadi makin akrab, karena hampir saban minggu saya melewati jalanan ini.
Tiba di jalanan curam, di lereng bukit sampah, di dekat pembakaran kulit (entah kulit sapi atau kulit-kulit lain yang terbakar) saya menemui Mbah Putri dan Mbah Kung, berjalan pelan di depan saya sambil membawa barang bawaan mereka. Baju mereka nampak rapi dan bagus, meski tak terbilang baru.
"Lho, dari mana, Mbah?" sapa saya, sambil kemudian menawarkan membawakan barang-barang mereka. Sedikit terkejut namun dengan tersenyum mereka menyerahkan barang bawaannya. Nampak lelah di usia lanjut. Tambah lagi jalanan yang curam membuat mereka semakin berkosentrasi melangkah dengan tertatih-tatih.
"Dari pasar, Ndhuk," jawab Mbah Putri. Kardus di tangannya berisi barang belanjaan saya ambil, nafasnya terdengar ngos-ngosan. "Hati-hati Kung," ucap Mbah Putri pada Mbah Kung, yang berjalan di belakang kami. Saya berjalan di depan sambil membawa barang belanjaan mereka. Jalanan di lereng bukit sampah ini memang licin, tambah lagi kala musim hujan. Saya saja sering terpeleset, gimana mereka ya? Ah, membayangkannya jadi tambah ngeri.
Setelah sampai di bawah, saya tuntun Mbah Putri dan kami beriringan berjalan menuju rumahnya di bawah perbukitan sampah.
"Lho, memang mau ke mana Ndhuk?" tanya Mbah Putri.
"Ke bawah Mbah, ke lapangan sekolah," jawab saya.
"Oh, iya,...ini hari Minggu ya? Ohhh,...ini Bu Guru yang ngajari anak-anak itu ya tiap hari Minggu," sumringah suara Mbah Putri sambil tersenyum ke arah saya. Ah, saya jadi malu mendapat sebutan itu. Selama ini yang menyebut saya "Bu Guru" adalah orang-orang di kampung tersebut, meski saya tak mengharap mendapat sebutan tersebut.
"Kok, belanja sendiri sih, Mbah? Anak-anaknya ke mana?" tanya saya, saat kami akhirnya tiba di depan pintu rumah Mbah Putri yang terbilang sederhana tersebut. Rumah kecil, di mana bagian ruang tamu dipakai sebagai warung kecil mereka.
"Anak-anak saya ada enam, semuanya sudah menikah dan ada di Jakarta. Saya sama Mbah Kung saja di rumah...ya, kalau gak jualan jadi gak punya kesibukan. Gak enak rasanya kalau diam saja. Gak ada yang mbantu di rumah, jadi ya pergi belanja sendiri," cerita Mbah Putri sambil membuka pintu rumahnya.
"Baik, Mbah, saya ke sekolahan dulu, sudah ditungguin anak-anak," ucap saya sambil menyerahkan belanjaannya. Ada Gesang dan Momo yang ternyata telah mengikuti di samping saya, saat kami tadi menuruni jalan tanjakan masuk perkampungan sempit ini.
"Terima kasih, ya, Ndhuk," ucap Mbah Putri. Terlihat Mbah Kung masih berjalan pelan menuruni tangga masuk perkampungan ini. Dia nampak tersenyum pada saya sambil melambaikan tangan.
"Mbak, gimana...pasirnya di bawah tah?" ucap Gesang mengagetkan saya.
"Ok. Ajak teman yang lainnya juga ya," sahut saya bergegas berjalan menuju halaman sekolah SDN Mergosono 4, tempat kami biasa belajar dan bermain bersama selama ini.
Wah, tak terasa Oktober 2015 ini adalah tahun ke-15 saya berproses mendampingi anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono. Sudah hampir empat generasi berlalu. Mereka yang dulu kecil sekarang bahkan sudah membawa anak-anak kecil mereka menemui saya....ah, jadi melankolis mengingatnya.
Tak ada salahnya bukan, jika kali ini saya mengajak mengingat perjalanan 15 tahun kebersamaan ini dalam foto.
Awal kegiatan pendampingan bersama anak-anak ini, dulu memakai halaman rumah Bp. Minadji, Mergosono
Semakin lama semakin banyak anak yang bergabung, dan halaman rumah pun tak muat.
Namanya juga tinggal di pinggiran kali, kadang pun kami bermain bersama di kali Brantas ini.
Keceriaan anak ini selalu mendatangkan kerinduan tersendiri
Dulu kami pernah juga mengadakan pemeriksaan dan pengobatan gratis bagi warga sekitar dengan tim medis dari antar umat beragama.
Sesekali juga belajar di rumah saya, agar anak-anak sedikit refreshing
Gosok gigi bersama adalah kegiatan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak
Selain gigi jadi bersih, anak-anak senang mendapat sikat gigi dan pasta gigi baru, jika kegiatan ini berlangsung
Sambil bermain kita juga belajar
Kadang sambil memanjat tembok pun bisa jadi sambil belajar
Bermain enggrang
Belajar bersama
Senang bisa belajar dan bermain bersama kakak-kakak dari PMK Universitas Brawijaya, yang berkunjung ke tempat anak-anak
Kami juga pernah dikunjungi teman-teman dari Jerman dan Congo, yang ingin melihat proses pendampingan bersama anak-anak ini
Bermain dan belajar menggunakan malam
Sambil bermain anak-anak bisa mengembangkan imajinasi mereka
Kadang kami hanya duduk-duduk saja
Sambil duduk-duduk kami bercerita tentang banyak hal, sekolah, keluarga, teman dan sebagainya.
Belajar juga harus kreatif
Belajar juga harus peduli sama teman yang lain
Belajar bersama, saling membantu
Generasi keempat yang mulai bergabung
Belajar model adik kakak
Belajar tak selamanya harus serius
Belajar sambil bermain
Belajar bisa dengan siapa saja, teman juga bisa mengajari yang lainnya
Halo....!
Ini hasil karyaku
Saat kunjungan kakak-kakak dari PMK Universitas Brawijaya
Ekspresi anak-anak
Trims, buat Majalah Bahana yang telah memuat kisah kami
Trims, buat koran harian nasional Kompas yang menyemangati
Trims, buat teman-teman VEM yang menerbitkan buku ini, sehingga kisah kami sedikit menginspirasi banyak orang di belahan bumi
Semoga kami tak malas mensharingkan kisah ini bagi teman-teman yang lainnya...
Kebersamaan bersama anak-anak
Terima kasih Tuhan untuk 15 tahun yang boleh bergulir, dan ini tidaklah mudah. Semakin hari ada banyak kesibukan yang seringkali jadi alasan. Entah itu rasa capek, jenuh, sakit, juga alasan-alasan yang lain. Tapi selalu saja ada alasan untuk selalu kembali pada anak-anak ini.
Terima kasih Tuhan untuk 15 tahun yang boleh bergulir, juga kasih sayang dari para sahabat dalam doa, dukungan dana, dukungan moral, agar kegiatan pendampingan ini bisa tetap berjalan. Teristimewa kasih sayang dari anak-anak di bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang, yang selalu mendatangkan kerinduan untuk tetap melayani di sana.
Komentar
Posting Komentar