"Mbak, aku gak tahu cita-citaku apa?" ucap Ika mengejutkanku. Kami bertiga duduk di atas sebuah tikar lusuh, aku Ika dan Tia. Ruang tamu ini tampak temaram dengan sinar redup bola lampu kecil tepat di atas kami.
"Kenapa?" tanyaku balik dengan heran. Setahuku beberapa waktu lalu Ika pernah sangat optimis ingin menjadi seorang guru.
"Soalnya Ibu gak setuju. Ibu bilang kenapa aku gak jadi perawat saja?" ucap Ika sambil meremas-remas koran yang dipegangnya.
Kulihat Tia duduk di pojok ruangan, kakinya berselonjor. Tak ada komentar yang keluar dari bibir cewek yang terkenal pendiam ini.
"Aku bingung Mbak...." ucap Ika lagi, "Kalau jadi guru atau perawat itu memang harus S1 ya?" tanyanya lagi.
Akhirnya hari itu menjadi panjang dengan obrolan kami bertiga. Tentang cita-cita, harapan, ketakutan.....diseling secangkir teh manis buatan Mbah Si.
Kulihat Ika masih sangat bersemangat, meski keraguan membentang tegas di bola matanya.
Tuhan, mampukan saya menemani anak-anak ini...meski sekadar sebagai teman, kakak dan pendamping di saat mereka curhat semacam ini. Ah, hari yang manis sekaligus berat bagi kami.
"Kenapa?" tanyaku balik dengan heran. Setahuku beberapa waktu lalu Ika pernah sangat optimis ingin menjadi seorang guru.
"Soalnya Ibu gak setuju. Ibu bilang kenapa aku gak jadi perawat saja?" ucap Ika sambil meremas-remas koran yang dipegangnya.
Kulihat Tia duduk di pojok ruangan, kakinya berselonjor. Tak ada komentar yang keluar dari bibir cewek yang terkenal pendiam ini.
"Aku bingung Mbak...." ucap Ika lagi, "Kalau jadi guru atau perawat itu memang harus S1 ya?" tanyanya lagi.
Akhirnya hari itu menjadi panjang dengan obrolan kami bertiga. Tentang cita-cita, harapan, ketakutan.....diseling secangkir teh manis buatan Mbah Si.
Kulihat Ika masih sangat bersemangat, meski keraguan membentang tegas di bola matanya.
Tuhan, mampukan saya menemani anak-anak ini...meski sekadar sebagai teman, kakak dan pendamping di saat mereka curhat semacam ini. Ah, hari yang manis sekaligus berat bagi kami.
Komentar
Posting Komentar