Minggu pagi ini, (1/7) ramai sekali di halaman SDN Mergosono 4 Malang. Anak-anak mulai berdatangan satu persatu. Hampir 2 pekan aku tidak dapat menjumpai mereka, karena terpaksa harus "nge-charge" otak, memperbaharui hati demi mereka juga, he he he...
Dua pekan tidak berjumpa, banyak cerita yang kudapatkan dari anak-anak.
Mulai dari kuku yang memanjang hitam, juga cerita-cerita masa liburan mereka.
"Hilda naik kelas?" tanyaku.
"Iya, dong, Kak..."
"Anggi, kamu naik kelas juga khan?" tanyaku dengan deg-degan, berusaha menyiapkan hati. Karena aku tahu, Anggi tahun kemarin sudah tinggal kelas.
"Naik, Mbak..." ucapnya dengan senyuman. Lega rasanya aku melihat senyumannya.
Tak lama, melintas Mega bersama adiknya, Aranca.
"Mega, kamu lulus? Pilih SMP mana?" tanyaku penasaran.
"Lulus, Mbak!" ucapnya dengan mata berbinar-binar, "Aku ikutan mandiri di SMP 7, mbak," terangnya lagi.
"Nem kamu berapa?" tanyaku lagi.
"24 koma 50, Mbak!"
"Wah, bagus juga. Gimana dengan kamu Tika?" tanyaku pada Tika yang datang dengan Merry, adiknya.
"Aku udah diterima di SMP 7 mbak, ikutan yang on line," ucap Tika, "Aku dapat peringkat ke dua waktu lulusan kemarin, Mega urutan ke tiga!" cerita Tika tanpa kuminta.
"Syukurlah," ucapku dengan bangga terhadap mereka.
"Tapi, mbak...." ucap Anggi kemudian, yang mulai membuat aku khawatir. "Mas Dony sama Rifai nggak naik kelas...."
"Haaahhh...." tak sadar aku terdiam sambil melongo.
"Mas Mamat juga gak naik kelas...kayaknya mau pindah SMP," cerita Anggi yang membuatku makin prihatin.
"Kenapa Mas Mamat gak naik kelas, Nggi?" tanyaku dengan heran. Setahuku Mamat anak yang cerdas, bahkan selalu mendapat peringkat di kelasnya.
"Soalnya Mas Mamat, kata gurunya sering mbolos Mbak!"
Jlebbbs....rasanya ada sesuatu yang menusuk dadaku.
"Sering mbolos ya," gumamku kemudian. Rasanya pasti ada sesuatu. "Oh, Mamat....kamu pasti hadapi masa remajamu dengan gejolak dan sendirian. Mungkin ini caramu protes terhadap orangtua yang kurang memperhatikanmu," gumamku sendirian.
Tak lama melintas Dony, yang mendekat ke arahku dengan ragu-ragu. Tak seperti biasanya, kali ini dia terlihat lebih kalem, bersih dan habis mandi.
"Hai, Don, gimana kabarmu?" tanyaku dengan berusaha tetap tenang.
"Baik, Mbak..."
"Ujian kemarin sulit-sulit ya," pancingku.
"Iya, Mbak, sulit banget!"
"Lho, apa selama ini kalau sulit gak pernah tanya sama Pak Guru?" pancingku lagi.
"Ya, udah Mbak...semua teman-teman juga pada tanya. Tapi memang sulit banget Mbak," ucapnya.
Mandeg, sudah pertanyaanku....tambah lagi anak-anak yang kecil minta lebih dapat perhatian dariku.
Seperti datangnya angin, pergi juga demikian....Dony tiba-tiba sudah berlalu, saat aku masih sibuk dengan anak-anak kecil tadi.
"Hai, Novi....kamu lulus?" tanyaku kemudian saat bertemu dengan Novi, gadis berperawakan bongsor ini.
"Iya, Mbak," jawabnya kalem, seperti biasanya, kalau ngobrol dengan aku.
"Milih sekolah ke mana sekarang?" tanyaku lagi.
"SMP PGRI 6 Mbak," ucapnya enteng.
"Ooo.... Nem kamu berapa Novi," tanyaku jadi lebih penasaran terhadapnya.
"16" ucapnya datar.
Jlebbbss...rasanya ini tusukan kedua yang menimpa dadaku sepagi ini.
"Kalau Cindi gimana?" tanyaku lagi pada Novi, menghilangkan rasa kagetku.
"Cindi naik kelas Mbak," ujar Novi, sambil meraih pensil warna dari tanganku.
Sepagi ini sudah banyak kejutan buatku....rasa gembira, rasa sedih, rasa haru, rasa kaget yang tak kepalang tanggung...semua menyeruak satu.
INI pasti bukan masalah sistem ujian yang buruk, sekolah yang mahal atau sekolah yang sulit, tapi ternyata masalah yang ada di sini masih dalam kisaran publik....anak-anak ini butuh KASIH SAYANG, butuh perhatian ortunya. Memang mungkin mereka dalam kondisi miskin, tapi mereka juga punya semangat untuk mewujudkan tanggungjawab sebagai ortu bagi anak-anaknya. Tapi, kesibukkan mencari uang ternyata juga berimbas pada permasalahan yang lain....kekurangan waktu untuk anak-anaknya.
"Tuhan, tolong aku, untuk kuat dengan rasa ini," doaku pelan.
Pagi merambat siang...namun senyum dan keriangan anak-anak tak mampu mengalahkan semuanya.
Dua pekan tidak berjumpa, banyak cerita yang kudapatkan dari anak-anak.
Mulai dari kuku yang memanjang hitam, juga cerita-cerita masa liburan mereka.
"Hilda naik kelas?" tanyaku.
"Iya, dong, Kak..."
"Anggi, kamu naik kelas juga khan?" tanyaku dengan deg-degan, berusaha menyiapkan hati. Karena aku tahu, Anggi tahun kemarin sudah tinggal kelas.
"Naik, Mbak..." ucapnya dengan senyuman. Lega rasanya aku melihat senyumannya.
Tak lama, melintas Mega bersama adiknya, Aranca.
"Mega, kamu lulus? Pilih SMP mana?" tanyaku penasaran.
"Lulus, Mbak!" ucapnya dengan mata berbinar-binar, "Aku ikutan mandiri di SMP 7, mbak," terangnya lagi.
"Nem kamu berapa?" tanyaku lagi.
"24 koma 50, Mbak!"
"Wah, bagus juga. Gimana dengan kamu Tika?" tanyaku pada Tika yang datang dengan Merry, adiknya.
"Aku udah diterima di SMP 7 mbak, ikutan yang on line," ucap Tika, "Aku dapat peringkat ke dua waktu lulusan kemarin, Mega urutan ke tiga!" cerita Tika tanpa kuminta.
"Syukurlah," ucapku dengan bangga terhadap mereka.
"Tapi, mbak...." ucap Anggi kemudian, yang mulai membuat aku khawatir. "Mas Dony sama Rifai nggak naik kelas...."
"Haaahhh...." tak sadar aku terdiam sambil melongo.
"Mas Mamat juga gak naik kelas...kayaknya mau pindah SMP," cerita Anggi yang membuatku makin prihatin.
"Kenapa Mas Mamat gak naik kelas, Nggi?" tanyaku dengan heran. Setahuku Mamat anak yang cerdas, bahkan selalu mendapat peringkat di kelasnya.
"Soalnya Mas Mamat, kata gurunya sering mbolos Mbak!"
Jlebbbs....rasanya ada sesuatu yang menusuk dadaku.
"Sering mbolos ya," gumamku kemudian. Rasanya pasti ada sesuatu. "Oh, Mamat....kamu pasti hadapi masa remajamu dengan gejolak dan sendirian. Mungkin ini caramu protes terhadap orangtua yang kurang memperhatikanmu," gumamku sendirian.
Tak lama melintas Dony, yang mendekat ke arahku dengan ragu-ragu. Tak seperti biasanya, kali ini dia terlihat lebih kalem, bersih dan habis mandi.
"Hai, Don, gimana kabarmu?" tanyaku dengan berusaha tetap tenang.
"Baik, Mbak..."
"Ujian kemarin sulit-sulit ya," pancingku.
"Iya, Mbak, sulit banget!"
"Lho, apa selama ini kalau sulit gak pernah tanya sama Pak Guru?" pancingku lagi.
"Ya, udah Mbak...semua teman-teman juga pada tanya. Tapi memang sulit banget Mbak," ucapnya.
Mandeg, sudah pertanyaanku....tambah lagi anak-anak yang kecil minta lebih dapat perhatian dariku.
Seperti datangnya angin, pergi juga demikian....Dony tiba-tiba sudah berlalu, saat aku masih sibuk dengan anak-anak kecil tadi.
"Hai, Novi....kamu lulus?" tanyaku kemudian saat bertemu dengan Novi, gadis berperawakan bongsor ini.
"Iya, Mbak," jawabnya kalem, seperti biasanya, kalau ngobrol dengan aku.
"Milih sekolah ke mana sekarang?" tanyaku lagi.
"SMP PGRI 6 Mbak," ucapnya enteng.
"Ooo.... Nem kamu berapa Novi," tanyaku jadi lebih penasaran terhadapnya.
"16" ucapnya datar.
Jlebbbss...rasanya ini tusukan kedua yang menimpa dadaku sepagi ini.
"Kalau Cindi gimana?" tanyaku lagi pada Novi, menghilangkan rasa kagetku.
"Cindi naik kelas Mbak," ujar Novi, sambil meraih pensil warna dari tanganku.
Sepagi ini sudah banyak kejutan buatku....rasa gembira, rasa sedih, rasa haru, rasa kaget yang tak kepalang tanggung...semua menyeruak satu.
INI pasti bukan masalah sistem ujian yang buruk, sekolah yang mahal atau sekolah yang sulit, tapi ternyata masalah yang ada di sini masih dalam kisaran publik....anak-anak ini butuh KASIH SAYANG, butuh perhatian ortunya. Memang mungkin mereka dalam kondisi miskin, tapi mereka juga punya semangat untuk mewujudkan tanggungjawab sebagai ortu bagi anak-anaknya. Tapi, kesibukkan mencari uang ternyata juga berimbas pada permasalahan yang lain....kekurangan waktu untuk anak-anaknya.
"Tuhan, tolong aku, untuk kuat dengan rasa ini," doaku pelan.
Pagi merambat siang...namun senyum dan keriangan anak-anak tak mampu mengalahkan semuanya.
Komentar
Posting Komentar