1 Nov. 2015
Pagi itu (1/11), kami melakukan kegiatan pembelajaran dan bermain seperti biasa bersama anak-anak dampingan di Bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang. Mengambil tempat di halaman SDN Mergosono 4, karena terdapat tanah lapang, sehingga anak-anak bebas bermain. Hampir 15 tahun ini, kami memakai tanah lapang itu, semua orang di kampung juga tahu, jika kami sering memakai tanah lapang itu untuk belajar dan bermain bersama.
Pagi itu kami merencanakan mengadakan "Games Kreativitas" untuk merayakan secara sederhana 15 tahun kegiatan pendampingan bersama anak-anak di Mergosono. Anak-anak setuju dan bersemangat untuk mengadakan kegiatan tersebut. Ada games "Mr. Frog" yang mengajar anak-anak untuk teliti dan cermat, juga berlatih daya ingat. Ada games menghitung, mewarna dengan pasir juga puzzle dalam bahasa Inggris.
Tengah kami asyik melakukan kegiatan tersebut datang seorang ibu menghampiri kami, dari arah kantor SDN Mergosono 4. Saya pikir dia adalah salah seorang guru, jadi kami menyambutnya dengan ramah, karena selama ini setiap guru yang kebetulan datang ke sekolah pada hari Minggu dan melihat kami, hanya melihat sepintas sambil tersenyum ramah menyapa anak-anak. Tapi....
Sepertinya guru yang ini beda, pikir saya dalam hati.
"Maaf, ya, ini lagi belajar apa?" tanya Ibu guru tersebut, sambil menatap anak-anak dengan tajam. Anak-anak menghentikan kegiatan mereka sambil melihat ke arah guru tersebut dengan takut. (Takut? kok aneh, ya...pikir saya makin heran)
Lantas kemudian ia bertanya banyak hal pada saya tentang kegiatan kami, apa yang kami pelajari, berapa jumlah anaknya, siapa saja mereka...bla...bla....mendadak saya seperti diinterograsi dengan nadanya yang tajam dan keras.
"Sudah ada izin belum pakai tempat di sini?" tanya Ibu guru tersebut lagi, dengan tatapan mata tajam dan menusuk pada saya. Saya tercenung, dulu sekali saya pernah berpikir untuk mengurus izin pada pihak sekolah, sekadar sapaan resmi pada pihak sekolah karena halaman mereka kami pakai....hingga empat atau tiga kali pergantian kepala sekolah SD ini berganti, belum terlaksana karena memang selama ini tidak ada kendala.
"Meski hanya pakai halaman sekolah ini tiap minggunya ya, Bu?" tanya saya berlagak bodoh.
"Ya, harus! Saya bikin bangku di sekolah ini, perbaiki halaman sekolah...semua juga pakai aturan," ucapnya lagi sambil menunjuk bangku marmer di halaman kelas di sekolah itu. Kali ini nadanya makin keras.
"Saya gak mau dengar alasan.....meski kegiatan itu sudah belasan atau puluhan tahun lalu! Saya kasih waktu 1 bulan untuk urus izin pakai tempat ke saya!" ucap ibu yang berusia sekitar 50 tahunan itu lebih tegas, sambil berlalu dari hadapan kami. Anak-anak sampai melongo memerhatikannya.
Ah,...saya yang selama pembicaraan tadi berusaha sabar dan menahan diri, tiba-tiba juga menjadi marah dalam hati. Mengapa kalau marah di depan anak-anak? Mengapa gak bicara secara dewasa, ngobrol empat mata dengan teduh? Dan lagi sepertinya ibu itu kurang begitu mengenal anak-anak, yang sebagian besar adalah anak didiknya....
"Siapa nama Ibu Guru itu?" tanya saya, setelah tenang pada anak-anak. Kemudian baru saya tahu kalau dia, Ibu "S" (sebut saja demikian) ini adalah kepala sekolah baru di SDN Mergosono 4 Malang ini.
"Aku pernah dijewer sama ibu itu mbak," Bagas bercerita dengan wajah sedihnya. Kemudian beragam cerita dari anak-anak tentang Ibu "S", yang rupanya kurang disukai anak-anak. Aroma ketakutan dan ketidaksukaan anak-anak jelas kentara.
Akhirnya kami menghentikan kegiatan...untunglah semua anak sudah menyelesaikan games nya. Saya bagikan kue dan Kalender bersama kami, yang memuat foto anak-anak (Lihat Kalenderku 2016, ada dalam blog edisi sebelumnya).
Sebelum kami berpisah kemudian saya berkata pada anak-anak, "Ok, kalian semua tadi sudah tahu, kalau Mbak Ayik dimarahi Ibu Kepala Sekolah. Mbak Ayik akan coba urus izin agar kita bisa pakai halaman sekolah ini. Tapi kalau gak dapat izin bagaimana?" tanya saya memancing anak-anak.
"Belajar di rumahku aja Mbak. Atau gantian di rumah anak-anak..." ucap Nabila, yang sekarang duduk di kelas 2 SMP.
"Iya, Mbak!" anak-anak yang lain mengiyakan.
"Baiklah...sekarang bantu bersih-bersih dulu ya..." ucap saya kembali. Anak-anak kemudian membantu membersihkan halaman sekolah yang telah kami pakai dan kemudian berhamburan pulang.
8 Nov. 2015
Saya telah membuatkan surat untuk permohonan izin ke sekolah, tapi belum sempat menemui Ibu "S" karena kesibukan saya dengan deadline pekerjaan. Kegiatan belajar dan bermain bersama anak-anak sementara libur.
14 Nov. 2015
Sabtu pagi, kebetulan libur kerja. Hari ini saya berniat untuk menemui Ibu "S" di sekolah. Ngos-ngosan karena jalan yang menanjak dan menurun, akhirnya saya sampai di perkampungan warga. Di halaman sekolah saya dengar Ibu "S" tengah memberi pengarahan pada anak-anak, rupanya usai senam pagi. Melewati rumah warga, Pak Boy menyapa saya dan mengajaknya mampir ke rumahnya, menemui istrinya. Saya memang biasa mampir ke rumah ini, sesekali mengincipi dagangan tradisional mereka. Ibu Ermi menyapa saya dengan ramah, rupanya ia tengah memasak dan segera menghentikan pekerjaannya ketika tahu saya datang.
"Mau ke mana Mbak, kok pagi-pagi ke sini?" tanya Bu Ermi sambil mengajak saya duduk di halaman depan rumahnya.
"Mau ke sekolah...tapi kayaknya masih ada acara ya di sekolah?" ucap saya.
"Habis senam," terang Bu Ermi. "Saya ini sudah seminggu ini gatal-gatal, kemerahan gini di kulit saya," cerita Bu Ermi sambil menunjukkan kulit badannya.
"Alergi ya?" tanya saya.
"Nggak tahu, habis makan bumbu pecel. Mungkin kacangnya nggak digoreng...jadinya bikin gatal kulit saya. Papanya sampai marah-marah," cerita Bu Ermi.
Akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, sambil menunggu acara senam di sekolah bubar.
"Wis, Mbak....sinaunya di ipal (semacam ruang serba guna; aula milik warga) ini saja..." tiba-tiba Bu Ermi berkata demikian. Saya sedikit terkejut, kok tahu permasalahan saya, padahal saya belum cerita.
"Lho, kok tahu kalau saya lagi ada masalah Bu?" tanya saya.
"Walah...ya, anak-anak pada cerita kalau Mbak Arik habis dimarahi kepala sekolah baru itu. Oalah Mbak, semua orang sudah pada tahu, kalau memang kepala sekolah yang sekarang ini agak sulit. Bahkan kemarin kita sudah ngajak ngobrol guru-gurunya anak-anak. Mereka juga sudah tahu dan menyayangkan apa yang dilakukan ibu kepala sekolah itu," cerita Bu Ermi.
Terus terang saya terkejut, seminggu tidak bertemu anak-anak, ternyata sudah ada banyak cerita.
"Terus terang, ya, Mbak...saya ini sangat senang Mbak Ayik ngajari anak-anak. 5 anak-anak saya itu, yang ngajari ya, Mbak Ayik, jadi gak perlu masuk TK, masuk SD sudah bisa membaca,mewarna, menggambar. Hampir semua warga di sini juga merasakan begitu. Wis, kalau memang di sekolah dilarang, ya sudah pakai ipal itu saja..." kata Bu Ermi lagi.
Mendadak datang Pak Dar, penjaga sekolah, ikut nimbrung bersama kami.
"Maaf, ya, Pak Dar, kalau gara-gara saya, jadi dimarahi kepala sekolahnya," ucap saya pelan.
"Oalah Mbak,...memang kepala sekolah yang sekarang ini banyak aturan, masak belajar gitu saja dilarang. Wis, pakai ruang ipal ini saja...pasti semua warga setuju," ucap Pak Dar.
Saya sedikit merasa senang, ada dukungan dari warga tentang kegiatan pendampingan saya selama ini.Tapi saya tidak ingin gegabah....
"Pak Boy, bisa antar saya ke Pak RT 05, biar saya bisa izin dulu pakai ruang ipal ini?" pinta saya dengan sopan.
"Mari!" ucap Pak Boy mengantarkan saya menemui Pak RT 05.
Ternyata ketua RT 05 ini adalah Pak Nur Hasan, yang mana anak-anaknya dulu juga ikut kegiatan pendampingan bersama kami.
"Vinda sekarang jarang ikut Mbak, udah gedhe...malu katanya," terang istri Pak Nur Hasan.
"Kenapa malu Mbak? Ada kok anak-anak SMP yang masih gabung, gak hanya anak-anak belum sekolah, TK atau yang kecil," terang saya. Pak NUr Hasan muncul, kemudian istrinya bergabung dengan ibu-ibu lain di depan pintu, ha ha ha...rupanya pagi-pagi sudah mencari uban. Indahnya hidup ini.
Saya jelaskan maksud kedatangan saya pada Pak Nur Hasan.
"Baiklah, Mbak, nanti saya bicarakan dulu dengan warga saya gimana baiknya. Juga saya mesti rembugan dengan RT lain, juga Pak RW, gimana baiknya pemakaian ipal tersebut. Nanti saya kabari mbak secepatnya. Orang-orang yang gak setuju dengan kegiatan ini khan, orang-orang yang gak pernah punya anak kecil...gimana kesulitan kami..." terang Pak Nur Hasan. "Ya, nanti setidaknya saya akan tanyai setiap warga, kalau perlu mengumpulkan tanda tangan mereka, sehingga kalau kita ajukan ini, ini loh ada buktinya kalau kami memang perlu kegiatan ini...." terang Pak Nur Hasan panjang lebar.
Ah, saya sungguh bersyukur....15 tahun pendampingan bersama anak-anak ini ternyata juga dirasakan warga sekitar. Warga juga mau bergerak membantu kami di tengah-tengah masalah yang kami hadapi ini.
Dulu saya pernah dicap 'kristenisasi' oleh orang yang benci saya, dan itu akhirnya bisa ditepis oleh waktu.
Saya percaya....pasti juga ada jalan keluar dari masalah ini, meski harus bersabar dan terus berdoa.
"Saya gak mau dengar alasan.....meski kegiatan itu sudah belasan atau puluhan tahun lalu! Saya kasih waktu 1 bulan untuk urus izin pakai tempat ke saya!" ucap ibu yang berusia sekitar 50 tahunan lebih itu tegas, sambil berlalu dari hadapan kami. Anak-anak sampai melongo memerhatikannya.
Pagi itu (1/11), kami melakukan kegiatan pembelajaran dan bermain seperti biasa bersama anak-anak dampingan di Bantaran Kali Brantas, Mergosono, Malang. Mengambil tempat di halaman SDN Mergosono 4, karena terdapat tanah lapang, sehingga anak-anak bebas bermain. Hampir 15 tahun ini, kami memakai tanah lapang itu, semua orang di kampung juga tahu, jika kami sering memakai tanah lapang itu untuk belajar dan bermain bersama.
Pagi itu kami merencanakan mengadakan "Games Kreativitas" untuk merayakan secara sederhana 15 tahun kegiatan pendampingan bersama anak-anak di Mergosono. Anak-anak setuju dan bersemangat untuk mengadakan kegiatan tersebut. Ada games "Mr. Frog" yang mengajar anak-anak untuk teliti dan cermat, juga berlatih daya ingat. Ada games menghitung, mewarna dengan pasir juga puzzle dalam bahasa Inggris.
Tengah kami asyik melakukan kegiatan tersebut datang seorang ibu menghampiri kami, dari arah kantor SDN Mergosono 4. Saya pikir dia adalah salah seorang guru, jadi kami menyambutnya dengan ramah, karena selama ini setiap guru yang kebetulan datang ke sekolah pada hari Minggu dan melihat kami, hanya melihat sepintas sambil tersenyum ramah menyapa anak-anak. Tapi....
Sepertinya guru yang ini beda, pikir saya dalam hati.
"Maaf, ya, ini lagi belajar apa?" tanya Ibu guru tersebut, sambil menatap anak-anak dengan tajam. Anak-anak menghentikan kegiatan mereka sambil melihat ke arah guru tersebut dengan takut. (Takut? kok aneh, ya...pikir saya makin heran)
Lantas kemudian ia bertanya banyak hal pada saya tentang kegiatan kami, apa yang kami pelajari, berapa jumlah anaknya, siapa saja mereka...bla...bla....mendadak saya seperti diinterograsi dengan nadanya yang tajam dan keras.
"Sudah ada izin belum pakai tempat di sini?" tanya Ibu guru tersebut lagi, dengan tatapan mata tajam dan menusuk pada saya. Saya tercenung, dulu sekali saya pernah berpikir untuk mengurus izin pada pihak sekolah, sekadar sapaan resmi pada pihak sekolah karena halaman mereka kami pakai....hingga empat atau tiga kali pergantian kepala sekolah SD ini berganti, belum terlaksana karena memang selama ini tidak ada kendala.
"Meski hanya pakai halaman sekolah ini tiap minggunya ya, Bu?" tanya saya berlagak bodoh.
"Ya, harus! Saya bikin bangku di sekolah ini, perbaiki halaman sekolah...semua juga pakai aturan," ucapnya lagi sambil menunjuk bangku marmer di halaman kelas di sekolah itu. Kali ini nadanya makin keras.
"Saya gak mau dengar alasan.....meski kegiatan itu sudah belasan atau puluhan tahun lalu! Saya kasih waktu 1 bulan untuk urus izin pakai tempat ke saya!" ucap ibu yang berusia sekitar 50 tahunan itu lebih tegas, sambil berlalu dari hadapan kami. Anak-anak sampai melongo memerhatikannya.
Ah,...saya yang selama pembicaraan tadi berusaha sabar dan menahan diri, tiba-tiba juga menjadi marah dalam hati. Mengapa kalau marah di depan anak-anak? Mengapa gak bicara secara dewasa, ngobrol empat mata dengan teduh? Dan lagi sepertinya ibu itu kurang begitu mengenal anak-anak, yang sebagian besar adalah anak didiknya....
"Siapa nama Ibu Guru itu?" tanya saya, setelah tenang pada anak-anak. Kemudian baru saya tahu kalau dia, Ibu "S" (sebut saja demikian) ini adalah kepala sekolah baru di SDN Mergosono 4 Malang ini.
"Aku pernah dijewer sama ibu itu mbak," Bagas bercerita dengan wajah sedihnya. Kemudian beragam cerita dari anak-anak tentang Ibu "S", yang rupanya kurang disukai anak-anak. Aroma ketakutan dan ketidaksukaan anak-anak jelas kentara.
Akhirnya kami menghentikan kegiatan...untunglah semua anak sudah menyelesaikan games nya. Saya bagikan kue dan Kalender bersama kami, yang memuat foto anak-anak (Lihat Kalenderku 2016, ada dalam blog edisi sebelumnya).
Sebelum kami berpisah kemudian saya berkata pada anak-anak, "Ok, kalian semua tadi sudah tahu, kalau Mbak Ayik dimarahi Ibu Kepala Sekolah. Mbak Ayik akan coba urus izin agar kita bisa pakai halaman sekolah ini. Tapi kalau gak dapat izin bagaimana?" tanya saya memancing anak-anak.
"Belajar di rumahku aja Mbak. Atau gantian di rumah anak-anak..." ucap Nabila, yang sekarang duduk di kelas 2 SMP.
"Iya, Mbak!" anak-anak yang lain mengiyakan.
"Baiklah...sekarang bantu bersih-bersih dulu ya..." ucap saya kembali. Anak-anak kemudian membantu membersihkan halaman sekolah yang telah kami pakai dan kemudian berhamburan pulang.
8 Nov. 2015
Saya telah membuatkan surat untuk permohonan izin ke sekolah, tapi belum sempat menemui Ibu "S" karena kesibukan saya dengan deadline pekerjaan. Kegiatan belajar dan bermain bersama anak-anak sementara libur.
14 Nov. 2015
Sabtu pagi, kebetulan libur kerja. Hari ini saya berniat untuk menemui Ibu "S" di sekolah. Ngos-ngosan karena jalan yang menanjak dan menurun, akhirnya saya sampai di perkampungan warga. Di halaman sekolah saya dengar Ibu "S" tengah memberi pengarahan pada anak-anak, rupanya usai senam pagi. Melewati rumah warga, Pak Boy menyapa saya dan mengajaknya mampir ke rumahnya, menemui istrinya. Saya memang biasa mampir ke rumah ini, sesekali mengincipi dagangan tradisional mereka. Ibu Ermi menyapa saya dengan ramah, rupanya ia tengah memasak dan segera menghentikan pekerjaannya ketika tahu saya datang.
"Mau ke mana Mbak, kok pagi-pagi ke sini?" tanya Bu Ermi sambil mengajak saya duduk di halaman depan rumahnya.
"Mau ke sekolah...tapi kayaknya masih ada acara ya di sekolah?" ucap saya.
"Habis senam," terang Bu Ermi. "Saya ini sudah seminggu ini gatal-gatal, kemerahan gini di kulit saya," cerita Bu Ermi sambil menunjukkan kulit badannya.
"Alergi ya?" tanya saya.
"Nggak tahu, habis makan bumbu pecel. Mungkin kacangnya nggak digoreng...jadinya bikin gatal kulit saya. Papanya sampai marah-marah," cerita Bu Ermi.
Akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul, sambil menunggu acara senam di sekolah bubar.
"Wis, Mbak....sinaunya di ipal (semacam ruang serba guna; aula milik warga) ini saja..." tiba-tiba Bu Ermi berkata demikian. Saya sedikit terkejut, kok tahu permasalahan saya, padahal saya belum cerita.
"Lho, kok tahu kalau saya lagi ada masalah Bu?" tanya saya.
"Walah...ya, anak-anak pada cerita kalau Mbak Arik habis dimarahi kepala sekolah baru itu. Oalah Mbak, semua orang sudah pada tahu, kalau memang kepala sekolah yang sekarang ini agak sulit. Bahkan kemarin kita sudah ngajak ngobrol guru-gurunya anak-anak. Mereka juga sudah tahu dan menyayangkan apa yang dilakukan ibu kepala sekolah itu," cerita Bu Ermi.
Terus terang saya terkejut, seminggu tidak bertemu anak-anak, ternyata sudah ada banyak cerita.
"Terus terang, ya, Mbak...saya ini sangat senang Mbak Ayik ngajari anak-anak. 5 anak-anak saya itu, yang ngajari ya, Mbak Ayik, jadi gak perlu masuk TK, masuk SD sudah bisa membaca,mewarna, menggambar. Hampir semua warga di sini juga merasakan begitu. Wis, kalau memang di sekolah dilarang, ya sudah pakai ipal itu saja..." kata Bu Ermi lagi.
Mendadak datang Pak Dar, penjaga sekolah, ikut nimbrung bersama kami.
"Maaf, ya, Pak Dar, kalau gara-gara saya, jadi dimarahi kepala sekolahnya," ucap saya pelan.
"Oalah Mbak,...memang kepala sekolah yang sekarang ini banyak aturan, masak belajar gitu saja dilarang. Wis, pakai ruang ipal ini saja...pasti semua warga setuju," ucap Pak Dar.
Saya sedikit merasa senang, ada dukungan dari warga tentang kegiatan pendampingan saya selama ini.Tapi saya tidak ingin gegabah....
"Pak Boy, bisa antar saya ke Pak RT 05, biar saya bisa izin dulu pakai ruang ipal ini?" pinta saya dengan sopan.
"Mari!" ucap Pak Boy mengantarkan saya menemui Pak RT 05.
Ternyata ketua RT 05 ini adalah Pak Nur Hasan, yang mana anak-anaknya dulu juga ikut kegiatan pendampingan bersama kami.
"Vinda sekarang jarang ikut Mbak, udah gedhe...malu katanya," terang istri Pak Nur Hasan.
"Kenapa malu Mbak? Ada kok anak-anak SMP yang masih gabung, gak hanya anak-anak belum sekolah, TK atau yang kecil," terang saya. Pak NUr Hasan muncul, kemudian istrinya bergabung dengan ibu-ibu lain di depan pintu, ha ha ha...rupanya pagi-pagi sudah mencari uban. Indahnya hidup ini.
Saya jelaskan maksud kedatangan saya pada Pak Nur Hasan.
"Baiklah, Mbak, nanti saya bicarakan dulu dengan warga saya gimana baiknya. Juga saya mesti rembugan dengan RT lain, juga Pak RW, gimana baiknya pemakaian ipal tersebut. Nanti saya kabari mbak secepatnya. Orang-orang yang gak setuju dengan kegiatan ini khan, orang-orang yang gak pernah punya anak kecil...gimana kesulitan kami..." terang Pak Nur Hasan. "Ya, nanti setidaknya saya akan tanyai setiap warga, kalau perlu mengumpulkan tanda tangan mereka, sehingga kalau kita ajukan ini, ini loh ada buktinya kalau kami memang perlu kegiatan ini...." terang Pak Nur Hasan panjang lebar.
Ah, saya sungguh bersyukur....15 tahun pendampingan bersama anak-anak ini ternyata juga dirasakan warga sekitar. Warga juga mau bergerak membantu kami di tengah-tengah masalah yang kami hadapi ini.
Dulu saya pernah dicap 'kristenisasi' oleh orang yang benci saya, dan itu akhirnya bisa ditepis oleh waktu.
Saya percaya....pasti juga ada jalan keluar dari masalah ini, meski harus bersabar dan terus berdoa.
di satu sisi ibu S ada benarnya untuk ngurus perijinan karena memakai halaman sekolah tapi di sisi lain aku geregetan karena beliau adalah seorang pendidik seharusnya tidak memarahi mbak ayik di depan anak anak, ngomong secara baik baik kan bisa, kenapa harus pakai emosi segala. kalau mbak ayik sudah ngurus perijinan ke Bu S, apakah nanti akan diijinkan memakai halaman sekolah?
BalasHapussemoga anak anak segera mendapat tempat untuk mereka belajar dan mendapat tempat di hati ibu Kepsek. semangaaat mbak ayik dan adik adik :-)
Trims, Mazmur....jujur sempat terlintas untuk memroses perijinan tersebut; tapi karena suara warga lebih banyak, maka saya ambil suara warga saja, untuk memakai ruang ipal di sebelah perkampungan warga, biar kecil tapi kalau warga mendukung pasti lebih nyaman. Doakan supaya warga RT lain juga mengizinkan kami memakai ruang ipal tersebut.
BalasHapus